Kamis, 18 November 2010

Bangsa Pengikut

Mengutif ungkapan Ansyori Munar, seorang aktivis nasionalis kebangsaan ketika memperingati 100 tahun kebangkitan nasional di Jogjakarta 2008, "masa sekarang Indonesia dijajah oleh Amerika dan Timur Tengah,nasionalisme keindonesiaan mulai tergerus, terutama dalam hal kebudayaan dan ekonomi, bangsa dan masyarakat kita lebih senang meniru dan mengkonsumsi produk penjajah".
Ansyori menguraikan, dari bidang budaya, bangsa‐bangsa Arab menjajah
Indonesia dengan bahasa dan kebudayaannya. Contohnya, dalam setiap pembukaan
pembicaraan terutama di even yang resmi, selalu saja dipakai kalimat ’salam mualaikum’, yang kemudian diakhiri dengan bahasa yang sama. Ini menandakan bahwa budaya kita bergeser dan dijajah oleh budaya bangsa lain.
Selain penjajahan budaya seperti yang diungkapkan Ansyori tadi, kita juga melihat
bangsa ini di jajah dari sektor ekonomi dengan masuknya barang‐barang
bermerek luar negeri dan semangat masyarakat yang senang mengkonsumsi produk
asing.
Sebagai contoh, masyarakat kita lebih merasa berkelas jika makan di KFC,
mengenakan jeans bermerek Louis, menggunakan hand phone label Nokia, sepatu Nike,
dan sederetan merek terkenal lainnya. Semua itu membawa kita pada gaya konsumsi
yang menyenangi produk luar negeri branded Eropa atau Amerika.

Lalu apa korelasinya terhadap penjajahan dalam hegemoni masyarakat Dayak?
Tentu saja ada, masyarakat kita juga terlibat dalam lingkar jajahan ini. Kita menyenangi hal‐hal yang berbau luar negeri karena dianggap trend, kita bangga jika menggunakan barang‐barang bermerek Eropa dan kita bangga menggemari kebudayaan Hip Hop ala Amerika, sementara kita lupa akan akar budaya kita sendiri.
Selain pengaruh dari luar, dari dalam juga merasuk dan menjajah orang Dayak, pembaca bisa melihat dan merasakan bagaimana ketimpangan dan ketidakadilan terhadap suku Dayak terjadi dalam kehidupan ini. Menjadi PNS saja sulit, apa lagi menjadi Bupati, menjadi anggota Dewan saja sulit apalagi menjadi Gubernur. Potensi kita dikalahkan oleh sistem diskriminasi di bidang ekonomi dan politik. Kita tidak mampu bicara banyak di tingkat nasional dan masih dianggap sebagai pengikut setia.

BUKU GRATIS


Dear friends,
sebagai ungkapan rasa terimakasih kami atas sambutan luar biasa Anda pada buku DAYAK MENGGUGAT karangan Nistain Odop dan Frans Lakon, kami memberikan BUKU GRATIS untuk 5 orang yang beruntung nantinya. Modalnya cukup SMS aja ke nomor telepon kami di 02748339494 dan tunggu kabar beruntung dari kami.
Caranya gampang, cukup SMS ke nomor telepon yang tertera di bawah ini dan akan kami undi untuk mencari siapa pemenangnya.

Format SMS adalah seperti ini:

BUKU GRATIS DAYAK MENGGUGAT

dan kirim ke no 02748339494

SMS mulai kami buka jumat 19 Nopember 2010, jam 00.00

Selamat mencoba dan salam budaya Dayak.

Tim
_Pintu Cerdas_ Books and Magazine

Senin, 09 Agustus 2010

Siapah Dayak itu?


Catatan seorang Imam Katolik di Kabupaten Ketapang

Menurut hemat saya tak ada batasan yang bersifat objektif tentang Dayak. Salah satu jalan untuk menentukan apakah seseorang ‘benar-benar Dayak‘ adalah dengan mencari tahu apakah seseorang itu meng-‘identifikasikan diri sendiri‘ sebagai Dayak atau di identifikasikan sebagai Dayak oleh orang lain. Misalnya “Pastor Harimurti lebih Dayak dari pada saya yang notabene orang Dayak”, itu pernyataan Pastor Akomen, seorang pastor dari Etnis Dayak Gerunggang.
Mgr. Mikhail Coomans (Manusia Dayak 1987) dan Juweng (1996) menjelaskan bahwa, pada mulanya Dayak adalah sebuah istilah yang bernada negatif, yang ditujukan bagi orang yang tinggal di pedalaman Kalimantan.
Sekarang orang-orang Dayak sendiri memakai istilah ini untuk ‘mengidentifikasikan diri’ mereka sendiri. Bahkan sekarang ini sudah menjadi kebiasaan orang-orang Dayak menggunakan sebutan ’DAYAK’ untuk mencapai kepentingan kolektif dalam adat budaya, sosial politik dan ekonomi. Dulu tahun 50-an sudah muncul ‘Serikat Kaharingan Dayak Indonesia’ sebagai reaksi atas kekuasaan politik pemerintah yang didominasi orang-orang Muslim/Melayu, di pimpin mantan Gubernur Kalimantan Barat OEVAANG OERAY dan PALAUN SUKA.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ’solidaritas kultur Dayak’ sangat diperlukan oleh orang-orang Dayak untuk mencapai kesejahteraan dalam arus pembangunan ini. Lebih jauh lagi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Dayak harus menerima identitas Dayak dalam kehidupan bersama dan menghindari konflik-konflik internal sub suku Dayak atau antar suku Dayak, karena konflik-konflik tersebut akan memecah-belah masyarakat Dayak sendiri. Dengan demikian suku Dayak yang terdiri dari banyak sub-suku itu akan menjadi satu kesatuan bulat yaitu ‘Dayak Indonesia’ dan mungkin 'Dayak Malaysia'.
Maka dari itu, orang-orang Dayak perlu mendirikan lembaga-lembaga atau organisasi untuk menyatukan komunitas mereka. DAD (Dewan Adat Dayak) yang ada sekarang ini belum menjadi wadah pemersatu seperti yang saya maksudkan, tetapi cenderung terkontaminasi sebagai alat atau kendaraan partai politik dan politik bisnis semata. Maka perlu diciptakan hubungan-hubungan regional dengan kelompok lain di tingkat kabupaten, provinsi, nasional dan internasional. Hal ini karena ada orang Dayak di Malaysia dan di tempat lain di dunia. Hal ini sudah diprakarsai oleh Musyawarah Adat Dayak Nasional dan Propinsi.
Saya sangat tertarik dengan model kehidupan masyarakat di rumah betang atau rumah panjang. Alangkah baiknya masyarakat Dayak menjaga dan mengembangkan ‘semangat rumah betang’ yang sudah sekian lama menjadi simbol solidaritas
kultural dan menjadi basis kehidupan masyarakat Dayak. Di rumah Betanglah saya menyaksikan bagaimana masyarakat Dayak dapat mengembangkan seni budaya dan seni arsitektur khas Dayak, yang merupakan simbol kunci Kalimantan.
Saya pernah merasakan hidup bersama umat di rumah betang di daerah Gerai dan pernah berkunjung ke Mengkakah Balai Berkuak. Posisi para perempuan sejajar dengan kaum lelaki. Fungsi Kepala Adat Dayak sungguh-sungguh sebagai ’Pengatur dan Pelaksana Adat’ yang perlu di lembagakan kembali secara rapi, teratur, dan disiplin. Orang Dayak harus mendirikan sebuah lembaga pengkajian kebudayaan Dayak dan mengadakan diskusi-diskusi, dialog-dialog, seminar, refleksi ilmiah, khususnya bagi generasi muda, sehingga masyarakat Dayak semakin diperkaya dalam memahami kebudayaan mereka sendiri.
Karena saya melihat bahwa sudah ada kecenderungan kuat dari orang muda untuk: mengetongahan babi hutan, menyisihan babi laman, yang artinya orang muda tidak tertarik lagi dengan kebudayaan sendiri, cenderung memungut budaya lain yang belum tahu juntrungnya. Lemahnya, orang-orang tua kita juga cenderung tidak menjadi pewaris dan penerus budaya yaitu menjadi kacang beketunjaran, keribang bekebolitan.

Sekarang ini saya bangga, karena banyak umat saya –terutama orang-orang muda– telah menjadi sarjana dari berbagai universitas dengan berbagai bidang studi. Beberapa dari mereka itu melanjutkan studinya ke luar negeri dan merepresentasikan kebudayaan Dayak lewat tulisan serta media lainnya.
Seharusnya budaya Dayak semakin maju tanpa harus kehilangan identitasnya. Tetapi menentukan siapa yang ’benar orang Dayak’, tampaknya sebagian besar ditentukan oleh pandangan orang dalam dan orang luar tentang siapa dan apa yang dianggap Dayak. Konsep tentang identitas bersama Dayak memang sudah menjadi lebih luas dan kuat, karena didobraknya identifikasi lama mengenai basis-basis keanggotaan suku Dayak tertentu, misalnya Pesaguan, Kendawangan, Simpang, Bahau, Ngaju, Iban, Kayan, Ahe dan lain-lain.
Identitas kolektif Dayak semakin menunjukkan bahwa masyarakat Dayak terus mendapat porsi yang lebih luas dalam tatanan nasional. Dan nampaknya sifat kenaikan yang menandai kebudayaan Dayak dalam antropologi budaya mulai menghilang atau surut bersama lajunya modernisasi.

Di angkat dari naskah buku Rm. Harimurti.
Seorang Romo yang bertugas di lingkungan masyarakat Dayak dan memperoleh banyak gelar kehormatan dari pemuka-pemuka adat Dayak, khususnya di daerah Pesaguan dan Tumbang Titi.

Senin, 05 Juli 2010

Kilas Jejak Manusia Dayak

Bicara tentang suku bangsa Dayak, potret masa lalu ketika bangsa ini berada dalam
kungkungan kekuasaan rezim orde baru, konstruksi pikiran kita sudah barang tentu akan
diajak dan dituntun pada sebuah gambaran stereotif yang menyatakan bahwa Dayak itu
memiliki pola hidup yang misterius, sakti, tradisional, nomaden, ketinggalan zaman,
kanibal, dan sebagainya. Namun, jika mau melihat ke sejarah masa silam, sesungguhnya
istilah Dayak itu baru mulai dikenal dunia setelah adanya penemuan Dr. August
Kanderland, seorang sosiolog Belanda ditahun 1803. Dalam penemuannya tersebut, dia
menjelaskan bahwa penduduk yang ia temui di pedalaman Borneo (Kalimantan)
mengaku diri sebagai “Orang Daya”, koloni manusia yang tinggal di kawasan perhuluan
sungai dan memeluk kepercayaan non muslim.
Selanjutnya, tulisan‐tulisan Dr. August memancing rasa ingin tahu banyak ahli
dunia, termasuk para peneliti Dayak sendiri mengenai tradisi lama tentang cara hidup,
kearifan, kepercayaan, kesatuan dengan alam lingkungan, sampai pada cerita misterius
dan menakutkan seperti Mengayau.
Umum dikatakan bahwa orang Dayak berasal dari Yunan, Cina Selatan, bagian
hulu sungai Mekong, layaknya cerita asal usul beberapa suku di seantero nusantara ini
seperti Toraja, Nias dan sebagian Melayu. Namun, teori ini masih belum bisa dibuktikan
kesahihannya. Catatan masa lalu dari hasil penelitian memang mengarah kesana dimana
ada kemungkinan bahwa para perantau Cina daratan pernah singgah, bermukim dan
berkembang biak di bumi Borneo ini dan bermutasi menjadi embrio suku bangsa Dayak.
Catatan lain menyebutkan bahwa, jauh sebelum bangsa Austronesia (sebuah
bangsa hasil perkawinan silang antar ras mongol dengan ras asli Kalimantan) datang di
kepulauan Kalimantan, di kepulauan ini telah hidup dua bangsa besar, bangsa Weddoide
dan bangsa Negrito (Wijowarsito, 1957). Hal ini menurut Wijowarsito dapat ditelusuri
pada garis sejarah dan budaya di dua kota yakni di Bengkayang dan Singkawang.
Pada konteks Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang, dalam batas
tertentu, orang Dayak yang tersebar di wilayah ini merupakan klan besar dari apa yang
dikenal sebagai Klemantan atau Land Dayak. Ada sekitar empat rumpun Dayak diwilayah
ini, yakni; rumpun Dayak Kanayatn, Salako, Bidayuh, dan Punan dengan beragam bahasa
dan variannya. Seperti di Singkawang, kita akan dengan mudah menemui orang‐orang
Dayak yang berdialek Bajare, Badameo atau Damea , Bakati’, Banyadu’, Bajanya,
Bainyam, dan sebagainya.

Rabu, 09 Juni 2010

HUKUM ADAT VS HUKUM NEGARA

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Agaknya, pepatah ini sangat pas untuk menggambarkan keberadaan setiap kelompok masyarakat di nusantara yang memiliki ciri tersendiri yang membuatnya unik dan berbeda sesuai dengan tuntutan lingkungan bio-fisik dan sosio-kulturalnya. Realitas kehidupan sosial kita memang demikian. Kita hidup dalam lingkungan yang sangat plural mulai dari suku, agama, etnis, bahasa, dan budaya. Itulah jati diri negara-bangsa, Indonesia. Dengan demikian, pengingkaran terhadap keberagaman itu sama dengan penyangkalan terhadap jati diri ke-Indonesia-an itu sendiri.
Dalam konteks jati diri ke-Indonesia-an itulah, hukum adat masyarakat Dayak Simpakng dapat diletakkan sebagai salah satu pembentuk dari identitas bangsa–negara, Indonesia. Dengan kata lain, hukum adat masyarakat Dayak Simpakng adalah salah satu ciri Indonesia. Permasalahannya adalah: Cara pandang negara terhadap masyarakatnya, seringkali tidak menemukan titik temu yang saling menguntungkan. Singkatnya, negara tidak bisa memahami realitas masyarakatnya yang beragam itu sehingga berdampak pada kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap masyarakat adat.
Sebagai contoh, hukum negara selalu dikatakan sebagai hukum positif. Logikanya adalah: jika ada hukum positif, adakah hukum yang negatif? Dalam logika ini, secara implisit jelas ingin dikatakan bahwa diluar hukum negara (hukum adat) dianggap sebagai hukum yang tidak positif (negatif). Banyak kalangan seringkali menganggap hukum adat adalah hukum yang tradisional, kuno, kolot, mengada-ngada, tidak konsisten, tidak masuk akal dan seterusnya. Cara pandang seperti ini sangat merugikan keberadaan hukum adat kita. Dalam hal ini ada kesan bahwa hukum adat tidak diakui oleh negara. Satu-satunya hukum yang diakui adalah hukum yang dianggap positif, yaitu hukum negara itu sendiri.
Pertanyaannya adalah: Manakah yang paling benar, hukum negara atau hukum adat? Pertanyaan ini agaknya sama sulitnya dengan menjawab pertanyaan: Mana yang lebih tua, ayam atau telur dan pertanyaan mana yang lebih tua, rebung atau bambu. Atau, boleh jadi, pertanyaan ini juga sama sulitnya bagi orang Kristen menjelaskan konsep Trinitas. Jawabanya adalah sangat tergantung pada paradigma atau cara pandang orang terhadap hukum adat itu sendiri.
Paradigma adalah cara seseorang memahami realitas dunia disekitarnya. Dalam hal ini, negara memiliki paradigmanya sendiri dalam memahami realitas hukum adat. Demikian juga halnya dengan masyarakat adat memiliki pandangannya sendiri dalam memahami realitas hukum adat mereka. Paradigma siapakah yang paling benar? Perlu digarisbawahi bahwa paradigma tidak ada yang salah. Yang ada adalah, paradigma itu bisa berbeda. Kita akan menjadi lebih baik didalam memandang orang lain dan berperilaku kepada orang lain jika kita mau memahami paradigma orang lain.
Untuk menjelaskan paradigma atau cara pandang itu, berikut diberikan sebuah ilustrasi para orangbuta yang memegang gajah. Seorang dari mereka mengatakan bahwa gajah itu seperti ular karena dia memegang bagian belalainya. Seorang buta yang lain memegang gajah pada bagian kakinya dan mengatakan bahwa gajah itu seperti pohon. Orang buta yang ketiga memegang gajah pada bagian badannya dan mengatakan bahwa gajah itu lebar seperti daun pisang. Pertanyaannya adalah: Siapakah diantara orangbuta itu yang paling benar memahami realitas seekor gajah? Jawabannya, semua mereka benar berdasarkan cara pandang atau paradigma masing-masing. Orang-orang buta itu tidak akan bertengkar jika mereka mau memahami sudut pandang satu dengan yang lainnya.

Sekarang, kita kembali ke pertanyaan: Manakah yang paling benar, hukum adat atau hukun negara? Intinya adalah, hukum adat benar, hukum negara benar tergantung dari paradigma mana kita melihatnya. Yang jelas, hukum negara adalah positif karena mengatur perilaku setiap warga negaranya. Demikian juga hukum adat positif karena dia mengatur tatanan kehidupan masyarakatnya. Akan tetapi, dalam hal ruang lingkup memang berbeda. Hukum negara lebih berlaku luas bagi semua warga negarannya sedangkan hukum adat hanya berlaku lokal pada komunitas penggunanya saja. Tapi sekali lagi, keduanya adalah sama-sama positif karena bertujuan mengatur kehidupan bersama agar manusia tidak merajalela.
Buku ini selain memberikan informasi adat dan hukum adat masyarakat Dayak Simpakng secara rinci juga ingin mempertegas bahwa hukum adat itu, (sekali lagi) tidaklah kuno, kolot, mengada-ngada, tidak konsisten, tidak masuk akal dan seterusnya. Justru, dengan adanya adat dan hukum adat adalah bukti bahwa masyarakat itu sudah maju karena mampu mengatur tatanan kehidupan sosial mereka secara bijaksana.
Pada masyarakat Dayak Simpakng, hukum adat itu lahir jauh sebelum Indonesia menjadi bangsa-negara modern (17 Agustus 1945). Artinya, masyarakat Dayak Simpakng itu sudah mengalami kemajuan yang luar biasa sebelum negara-bangsa ini mampu mengatur kehidupan warganya seperti sekarang ini. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hukum adat itu negatif, mengada-ngada dan lain sebagainya.

Rabu, 14 April 2010

ARSITEKTUR RUMAH BETANG

Arsitektur Dayak tidak bisa dilepaskan dari konsep hidup dan kebudayaan sehari-hari mereka. Konsep hidup dan budaya ini dapat dilihat dari bentuk rumah tinggal yang secara arsitektural memiliki ciri fisik berbentuk rumah yang memanjang dengan tiang (kolong) tinggi yang mereka sebut sebagai rumah Betang atau Rumah Panjang atau Lamin atau juga lebih kerennya disebut Long House.
Selain dari bentuk fisik, rumah Betang secara arsitektural menggambarkan konsep hidup dan kebudayaan Dayak. Hal ini dapat terlihat pada tata ruang, bentuk bangunan, asesoris seperti patung, ukiran, pernak pernik, dan pola penataannya. Dengan melihat tata ruang rumah, bentuk, dan susunannya dapat diketahui bagaimana pola hidup, pola pikir, pilosofi serta kebudayaan yang terjadi dalam masyarakatnya.

Bentuk
Dalam pedoman arsitektur tradisional Dayak terdapat faktor-faktor penentu seperti hal-hal yang berhubungan dengan dasar pemilihan lokasi, penataan site plan, perencanaan bangunan, dimensi, proporsi, simbol-simbol, dan detailnya, demikian juga pada pemakaian dan penempatan materialnya. Arsitektur tradisional Dayak menempatkan suasana dan pengarahan dengan bentuk-bentuk ruang yang dapat menjaga keseimbangan manusia dengan alam lingkungannya.
Ciri-ciri bentuk rumah suku-suku Dayak secara universal dapat dilihat dari:
Bentuk Bangunan: Bentuk bangunan panjang dan hanya beberapa unit saja dalam satu kampung. Biasanya tidak lebih dari 5 unit. Satu unit bisa digunakan oleh 5-10 anggota keluarga. Bahkan ada yang digunakan secara komunal oleh lebih dari 30 anggota keluarga. Bentuk rumah berkolong tinggi, dengan ketinggian sampai dengan 4 meter dari permukaan tanah. Badan rumah (dinding) terkadang berarsitektur jengki dengan atap pelana memanjang.

Tata Ruang
Ruang-ruang yang ada dalam Rumah Betang biasanya terdiri dari sado', padongk, bilik, dan dapur.
Sado' (dalam bahasa Dayak Simpangk) adalah pelantaran tingkat bawah yang biasanya merupakan jalur lalu lalang penghuni rumah Betang. Sado' juga biasanya digunakan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas umum seperti menganyam, menumbuk padi, berdiskusi adat secara massal, dan lain sebagainya.
Padongk dapat diterjemahkan sebagai ruang keluarga, letaknya lebih dalam dan lebih tinggi dari pada sado'. Ruangan ini biasanya tidak luas, mungkin berkisar antara 4x6m saja. Padongk lebih umum dimanfaatkan oleh pemilik Rumah Betang sebagai ruang kumpul keluarga, ngobrol, makan minum, menerima tamu dan aktivitas yang lebih personal.
Bilik adalah ruang tidur. Bilik tentu saja digunakan untuk tidur. zaman dahulu, satu bilik bisa dipakai oleh 3-5 anggota keluarga. mereka tidur dalam satu ruangan dan hanya dibatasi oleh kelambu. Kelambu utama untuk ayah dan ibu, kelambu kedua dan ketiga untuk anak-anak. tentu kelambu anak laki-laki dan perempuan akan dipisahkan.
Ruang yang terakhir didalam Rumah Betang adalah Dapur. Ruang ini terbuka dan memiliki view yang langsung berhadapan dengan ruang padongk. Umumnya dapur hanya berukuran 1x2m dan hanya untuk menempatkan tungku perapian untuk memasak. Di atas perapian biasanya ada tempara untuk menyimpan persediaan kayu bakar. Dapur di rumah Betang amat sederhana dan hanya berfungsi untuk kegiatan masak memasak saja.

Aktifitas suku Dayak selain di ladang dan dihutan, lebih banyak dilakukan di dalam rumah baik itu aktivitas sosial, kebudayaan, bahkan pusat kekuasaan mengatur tata kehidupan masyarakat. Dengan kata lain Rumah Betang bagi suku Dayak merupakan pusat kebudayaan dan jantung tradisi mereka. Karenanya keberadaan Rumah Betang harus tetap dijaga kelestariannya. Walaupun sudah tidak ditempati lagi setidaknya tetap dijadikan sebagai bangunan konservasi karena memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi orang Dayak.

* Nistain Odop; Penulis dan Arsitek Dayak.
(Sumber foto tidak diketahui)

Selasa, 06 April 2010

Meretas Jalan Kebangkitan Suku Bangsa Dayak

Kebangkitan orang Dayak terutama di Kalimantan Barat tidak bisa lepaskan dari peran besar Institute Dayakologi (ID) dan unit gerakannya di Gerakan pemberdayaan Pancur Kasih di Pontianak. Selama lebih dari 25 tahun Pancur Kasih berkarya memberdayakan kehidupan orang Dayak. Masih ingat salah satu karya monumental yang digagasi dalam rangka untuk menyatakan kepada dunia bahwa orang Dayak itu ada dan memang ada. Seminar Nasional Kebudayaan Dayak dan Ekspo Budaya Dayak tahun 1992 lalu, yang di organisir oleh Institut Dayakologi Research and Development-sekarang Institut Dayakologi-merupakan titik balik dari lompatan terbesar dalam perjalanan sejarah orang Dayak.

Kesimpangsiuran penamaan Dayak, menjadi terang dan dikumandangkan sampai ke penjuru dunia, bahwa penamaan yang benar adalah Dayak bukan Daya, Daya’ dan lain sebagainya. Pandangan miring tentang Dayak yang identik dengan kebodohan, miskin, primitif, kuno, kanibal, kotor dan sebagainya merupakan pandangan keliru tentang Dayak. Stigma negatif itu bukan karena nama Dayak-nya, melainkan kondisi eksternal yang secara sistematis memang memosisikan orang Dayak seperti itu.
Bermula dari Ekspo Budaya Dayak inilah, orang Dayak mulai meretas jalan kebangkitannya, beranjak dari tidur panjang dari masa-masa keterpurukkan. Orang Dayak tidak lagi malu mengakui identitasnya, justru bangga. Namun rasa bangga terhadap identitasnya tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan upaya-upaya mempertahankan eksistensi atau identitasnya. Orang Dayak harus berkepribadian secara budaya, berdaulat secara politik, dan mandiri secara ekonomi agar setara dengan komunitas-komunitas lainnya. Apa usaha yang bisa dilakukan untuk mewujudkan itu? Tentu saja banyak cara yang bisa dilakukan, diantaranya:
Menyelamatkan Tradisi Kebudayaan
Pendokumentasian Budaya
Tumbuhnya Koperasi Kredit (CU)
Berkompetisi dalam bidang politik dan pemerintahan

::Foto: Al Yan Sukanda; peraih penghargaan kebudayaan nasional 2007