Rabu, 09 Juni 2010

HUKUM ADAT VS HUKUM NEGARA

Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Agaknya, pepatah ini sangat pas untuk menggambarkan keberadaan setiap kelompok masyarakat di nusantara yang memiliki ciri tersendiri yang membuatnya unik dan berbeda sesuai dengan tuntutan lingkungan bio-fisik dan sosio-kulturalnya. Realitas kehidupan sosial kita memang demikian. Kita hidup dalam lingkungan yang sangat plural mulai dari suku, agama, etnis, bahasa, dan budaya. Itulah jati diri negara-bangsa, Indonesia. Dengan demikian, pengingkaran terhadap keberagaman itu sama dengan penyangkalan terhadap jati diri ke-Indonesia-an itu sendiri.
Dalam konteks jati diri ke-Indonesia-an itulah, hukum adat masyarakat Dayak Simpakng dapat diletakkan sebagai salah satu pembentuk dari identitas bangsa–negara, Indonesia. Dengan kata lain, hukum adat masyarakat Dayak Simpakng adalah salah satu ciri Indonesia. Permasalahannya adalah: Cara pandang negara terhadap masyarakatnya, seringkali tidak menemukan titik temu yang saling menguntungkan. Singkatnya, negara tidak bisa memahami realitas masyarakatnya yang beragam itu sehingga berdampak pada kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap masyarakat adat.
Sebagai contoh, hukum negara selalu dikatakan sebagai hukum positif. Logikanya adalah: jika ada hukum positif, adakah hukum yang negatif? Dalam logika ini, secara implisit jelas ingin dikatakan bahwa diluar hukum negara (hukum adat) dianggap sebagai hukum yang tidak positif (negatif). Banyak kalangan seringkali menganggap hukum adat adalah hukum yang tradisional, kuno, kolot, mengada-ngada, tidak konsisten, tidak masuk akal dan seterusnya. Cara pandang seperti ini sangat merugikan keberadaan hukum adat kita. Dalam hal ini ada kesan bahwa hukum adat tidak diakui oleh negara. Satu-satunya hukum yang diakui adalah hukum yang dianggap positif, yaitu hukum negara itu sendiri.
Pertanyaannya adalah: Manakah yang paling benar, hukum negara atau hukum adat? Pertanyaan ini agaknya sama sulitnya dengan menjawab pertanyaan: Mana yang lebih tua, ayam atau telur dan pertanyaan mana yang lebih tua, rebung atau bambu. Atau, boleh jadi, pertanyaan ini juga sama sulitnya bagi orang Kristen menjelaskan konsep Trinitas. Jawabanya adalah sangat tergantung pada paradigma atau cara pandang orang terhadap hukum adat itu sendiri.
Paradigma adalah cara seseorang memahami realitas dunia disekitarnya. Dalam hal ini, negara memiliki paradigmanya sendiri dalam memahami realitas hukum adat. Demikian juga halnya dengan masyarakat adat memiliki pandangannya sendiri dalam memahami realitas hukum adat mereka. Paradigma siapakah yang paling benar? Perlu digarisbawahi bahwa paradigma tidak ada yang salah. Yang ada adalah, paradigma itu bisa berbeda. Kita akan menjadi lebih baik didalam memandang orang lain dan berperilaku kepada orang lain jika kita mau memahami paradigma orang lain.
Untuk menjelaskan paradigma atau cara pandang itu, berikut diberikan sebuah ilustrasi para orangbuta yang memegang gajah. Seorang dari mereka mengatakan bahwa gajah itu seperti ular karena dia memegang bagian belalainya. Seorang buta yang lain memegang gajah pada bagian kakinya dan mengatakan bahwa gajah itu seperti pohon. Orang buta yang ketiga memegang gajah pada bagian badannya dan mengatakan bahwa gajah itu lebar seperti daun pisang. Pertanyaannya adalah: Siapakah diantara orangbuta itu yang paling benar memahami realitas seekor gajah? Jawabannya, semua mereka benar berdasarkan cara pandang atau paradigma masing-masing. Orang-orang buta itu tidak akan bertengkar jika mereka mau memahami sudut pandang satu dengan yang lainnya.

Sekarang, kita kembali ke pertanyaan: Manakah yang paling benar, hukum adat atau hukun negara? Intinya adalah, hukum adat benar, hukum negara benar tergantung dari paradigma mana kita melihatnya. Yang jelas, hukum negara adalah positif karena mengatur perilaku setiap warga negaranya. Demikian juga hukum adat positif karena dia mengatur tatanan kehidupan masyarakatnya. Akan tetapi, dalam hal ruang lingkup memang berbeda. Hukum negara lebih berlaku luas bagi semua warga negarannya sedangkan hukum adat hanya berlaku lokal pada komunitas penggunanya saja. Tapi sekali lagi, keduanya adalah sama-sama positif karena bertujuan mengatur kehidupan bersama agar manusia tidak merajalela.
Buku ini selain memberikan informasi adat dan hukum adat masyarakat Dayak Simpakng secara rinci juga ingin mempertegas bahwa hukum adat itu, (sekali lagi) tidaklah kuno, kolot, mengada-ngada, tidak konsisten, tidak masuk akal dan seterusnya. Justru, dengan adanya adat dan hukum adat adalah bukti bahwa masyarakat itu sudah maju karena mampu mengatur tatanan kehidupan sosial mereka secara bijaksana.
Pada masyarakat Dayak Simpakng, hukum adat itu lahir jauh sebelum Indonesia menjadi bangsa-negara modern (17 Agustus 1945). Artinya, masyarakat Dayak Simpakng itu sudah mengalami kemajuan yang luar biasa sebelum negara-bangsa ini mampu mengatur kehidupan warganya seperti sekarang ini. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hukum adat itu negatif, mengada-ngada dan lain sebagainya.