Bicara tentang suku bangsa Dayak, potret masa lalu ketika bangsa ini berada dalam
kungkungan kekuasaan rezim orde baru, konstruksi pikiran kita sudah barang tentu akan
diajak dan dituntun pada sebuah gambaran stereotif yang menyatakan bahwa Dayak itu
memiliki pola hidup yang misterius, sakti, tradisional, nomaden, ketinggalan zaman,
kanibal, dan sebagainya. Namun, jika mau melihat ke sejarah masa silam, sesungguhnya
istilah Dayak itu baru mulai dikenal dunia setelah adanya penemuan Dr. August
Kanderland, seorang sosiolog Belanda ditahun 1803. Dalam penemuannya tersebut, dia
menjelaskan bahwa penduduk yang ia temui di pedalaman Borneo (Kalimantan)
mengaku diri sebagai “Orang Daya”, koloni manusia yang tinggal di kawasan perhuluan
sungai dan memeluk kepercayaan non muslim.
Selanjutnya, tulisan‐tulisan Dr. August memancing rasa ingin tahu banyak ahli
dunia, termasuk para peneliti Dayak sendiri mengenai tradisi lama tentang cara hidup,
kearifan, kepercayaan, kesatuan dengan alam lingkungan, sampai pada cerita misterius
dan menakutkan seperti Mengayau.
Umum dikatakan bahwa orang Dayak berasal dari Yunan, Cina Selatan, bagian
hulu sungai Mekong, layaknya cerita asal usul beberapa suku di seantero nusantara ini
seperti Toraja, Nias dan sebagian Melayu. Namun, teori ini masih belum bisa dibuktikan
kesahihannya. Catatan masa lalu dari hasil penelitian memang mengarah kesana dimana
ada kemungkinan bahwa para perantau Cina daratan pernah singgah, bermukim dan
berkembang biak di bumi Borneo ini dan bermutasi menjadi embrio suku bangsa Dayak.
Catatan lain menyebutkan bahwa, jauh sebelum bangsa Austronesia (sebuah
bangsa hasil perkawinan silang antar ras mongol dengan ras asli Kalimantan) datang di
kepulauan Kalimantan, di kepulauan ini telah hidup dua bangsa besar, bangsa Weddoide
dan bangsa Negrito (Wijowarsito, 1957). Hal ini menurut Wijowarsito dapat ditelusuri
pada garis sejarah dan budaya di dua kota yakni di Bengkayang dan Singkawang.
Pada konteks Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang, dalam batas
tertentu, orang Dayak yang tersebar di wilayah ini merupakan klan besar dari apa yang
dikenal sebagai Klemantan atau Land Dayak. Ada sekitar empat rumpun Dayak diwilayah
ini, yakni; rumpun Dayak Kanayatn, Salako, Bidayuh, dan Punan dengan beragam bahasa
dan variannya. Seperti di Singkawang, kita akan dengan mudah menemui orang‐orang
Dayak yang berdialek Bajare, Badameo atau Damea , Bakati’, Banyadu’, Bajanya,
Bainyam, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar