Rabu, 14 April 2010

ARSITEKTUR RUMAH BETANG

Arsitektur Dayak tidak bisa dilepaskan dari konsep hidup dan kebudayaan sehari-hari mereka. Konsep hidup dan budaya ini dapat dilihat dari bentuk rumah tinggal yang secara arsitektural memiliki ciri fisik berbentuk rumah yang memanjang dengan tiang (kolong) tinggi yang mereka sebut sebagai rumah Betang atau Rumah Panjang atau Lamin atau juga lebih kerennya disebut Long House.
Selain dari bentuk fisik, rumah Betang secara arsitektural menggambarkan konsep hidup dan kebudayaan Dayak. Hal ini dapat terlihat pada tata ruang, bentuk bangunan, asesoris seperti patung, ukiran, pernak pernik, dan pola penataannya. Dengan melihat tata ruang rumah, bentuk, dan susunannya dapat diketahui bagaimana pola hidup, pola pikir, pilosofi serta kebudayaan yang terjadi dalam masyarakatnya.

Bentuk
Dalam pedoman arsitektur tradisional Dayak terdapat faktor-faktor penentu seperti hal-hal yang berhubungan dengan dasar pemilihan lokasi, penataan site plan, perencanaan bangunan, dimensi, proporsi, simbol-simbol, dan detailnya, demikian juga pada pemakaian dan penempatan materialnya. Arsitektur tradisional Dayak menempatkan suasana dan pengarahan dengan bentuk-bentuk ruang yang dapat menjaga keseimbangan manusia dengan alam lingkungannya.
Ciri-ciri bentuk rumah suku-suku Dayak secara universal dapat dilihat dari:
Bentuk Bangunan: Bentuk bangunan panjang dan hanya beberapa unit saja dalam satu kampung. Biasanya tidak lebih dari 5 unit. Satu unit bisa digunakan oleh 5-10 anggota keluarga. Bahkan ada yang digunakan secara komunal oleh lebih dari 30 anggota keluarga. Bentuk rumah berkolong tinggi, dengan ketinggian sampai dengan 4 meter dari permukaan tanah. Badan rumah (dinding) terkadang berarsitektur jengki dengan atap pelana memanjang.

Tata Ruang
Ruang-ruang yang ada dalam Rumah Betang biasanya terdiri dari sado', padongk, bilik, dan dapur.
Sado' (dalam bahasa Dayak Simpangk) adalah pelantaran tingkat bawah yang biasanya merupakan jalur lalu lalang penghuni rumah Betang. Sado' juga biasanya digunakan sebagai tempat untuk melakukan aktivitas umum seperti menganyam, menumbuk padi, berdiskusi adat secara massal, dan lain sebagainya.
Padongk dapat diterjemahkan sebagai ruang keluarga, letaknya lebih dalam dan lebih tinggi dari pada sado'. Ruangan ini biasanya tidak luas, mungkin berkisar antara 4x6m saja. Padongk lebih umum dimanfaatkan oleh pemilik Rumah Betang sebagai ruang kumpul keluarga, ngobrol, makan minum, menerima tamu dan aktivitas yang lebih personal.
Bilik adalah ruang tidur. Bilik tentu saja digunakan untuk tidur. zaman dahulu, satu bilik bisa dipakai oleh 3-5 anggota keluarga. mereka tidur dalam satu ruangan dan hanya dibatasi oleh kelambu. Kelambu utama untuk ayah dan ibu, kelambu kedua dan ketiga untuk anak-anak. tentu kelambu anak laki-laki dan perempuan akan dipisahkan.
Ruang yang terakhir didalam Rumah Betang adalah Dapur. Ruang ini terbuka dan memiliki view yang langsung berhadapan dengan ruang padongk. Umumnya dapur hanya berukuran 1x2m dan hanya untuk menempatkan tungku perapian untuk memasak. Di atas perapian biasanya ada tempara untuk menyimpan persediaan kayu bakar. Dapur di rumah Betang amat sederhana dan hanya berfungsi untuk kegiatan masak memasak saja.

Aktifitas suku Dayak selain di ladang dan dihutan, lebih banyak dilakukan di dalam rumah baik itu aktivitas sosial, kebudayaan, bahkan pusat kekuasaan mengatur tata kehidupan masyarakat. Dengan kata lain Rumah Betang bagi suku Dayak merupakan pusat kebudayaan dan jantung tradisi mereka. Karenanya keberadaan Rumah Betang harus tetap dijaga kelestariannya. Walaupun sudah tidak ditempati lagi setidaknya tetap dijadikan sebagai bangunan konservasi karena memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi orang Dayak.

* Nistain Odop; Penulis dan Arsitek Dayak.
(Sumber foto tidak diketahui)

Selasa, 06 April 2010

Meretas Jalan Kebangkitan Suku Bangsa Dayak

Kebangkitan orang Dayak terutama di Kalimantan Barat tidak bisa lepaskan dari peran besar Institute Dayakologi (ID) dan unit gerakannya di Gerakan pemberdayaan Pancur Kasih di Pontianak. Selama lebih dari 25 tahun Pancur Kasih berkarya memberdayakan kehidupan orang Dayak. Masih ingat salah satu karya monumental yang digagasi dalam rangka untuk menyatakan kepada dunia bahwa orang Dayak itu ada dan memang ada. Seminar Nasional Kebudayaan Dayak dan Ekspo Budaya Dayak tahun 1992 lalu, yang di organisir oleh Institut Dayakologi Research and Development-sekarang Institut Dayakologi-merupakan titik balik dari lompatan terbesar dalam perjalanan sejarah orang Dayak.

Kesimpangsiuran penamaan Dayak, menjadi terang dan dikumandangkan sampai ke penjuru dunia, bahwa penamaan yang benar adalah Dayak bukan Daya, Daya’ dan lain sebagainya. Pandangan miring tentang Dayak yang identik dengan kebodohan, miskin, primitif, kuno, kanibal, kotor dan sebagainya merupakan pandangan keliru tentang Dayak. Stigma negatif itu bukan karena nama Dayak-nya, melainkan kondisi eksternal yang secara sistematis memang memosisikan orang Dayak seperti itu.
Bermula dari Ekspo Budaya Dayak inilah, orang Dayak mulai meretas jalan kebangkitannya, beranjak dari tidur panjang dari masa-masa keterpurukkan. Orang Dayak tidak lagi malu mengakui identitasnya, justru bangga. Namun rasa bangga terhadap identitasnya tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan upaya-upaya mempertahankan eksistensi atau identitasnya. Orang Dayak harus berkepribadian secara budaya, berdaulat secara politik, dan mandiri secara ekonomi agar setara dengan komunitas-komunitas lainnya. Apa usaha yang bisa dilakukan untuk mewujudkan itu? Tentu saja banyak cara yang bisa dilakukan, diantaranya:
Menyelamatkan Tradisi Kebudayaan
Pendokumentasian Budaya
Tumbuhnya Koperasi Kredit (CU)
Berkompetisi dalam bidang politik dan pemerintahan

::Foto: Al Yan Sukanda; peraih penghargaan kebudayaan nasional 2007