Selasa, 15 Desember 2009

MENGAPA DAYAK TIDAK MERDEKA




Mengapa banyak sekali manusia yang mengatakan bahwa merdeka itu tidak perlu. Dan, seperti itulah dunia kita, mereka tidak pernah mengharapkan kemerdekaan yang sejati dalam hidup. Sebelum buku ini dirilis, kami telah berpikir beberapa kali untuk mencari tema yang paling cocok, pernah muncul judul seperti DAYAK BERUBAH, atau DAYAK NASIBMU, atau DAYAK MASA DEPAN, Dayak in the Crossroad, DAYAK MASA KINI… dan beberapa judul lain.
Mengutarakan tema mengenai sejarah, kebudayaan, latar belakang hidup, tantangan, harapan dan perjuangan orang Dayak membuat pikiran kita bergerak untuk segera melakukan revolusi kearah perubahan yang lebih baik. Setidaknya mind set kita diarahkan kepada sesuatu yang membangun manusia Dayak dari berbagai sisi kehidupan. Tentulah aroma keterbelakangan dan penindasan menjadi alasan dan dasar bagaimana perlawanan menuju perubahan jati diri orang Dayak itu menguak kepermukaan dan melatarbelakangi pemikiran dan perjuangan kita.
Santernya semangat perjuangan dan deru perubahan yang dikumandangkan oleh para tokoh, pemikir dan cendikiawan Dayak dari berbagai sudut kehidupan mengajak setiap kalangan untuk membuka maju dan bergerak kedalam satu visi perjuangan yang sama bernama perubahan. Marjinalisasi yang terjadi, keterbelakangan dan pembunuhan karakter serta penutupan beberapa kesempatan dibidang politik dan pemerintahan seolah menjadi duri yang membuat manusia Dayak berjuang bersama menuju sebuah identitas baru yang diharapkan lebih diperhitungkan dan dipandang sebagai orang yang berkualitas dan setara dengan suku bangsa lain.
Fakta semangat perubahan dikalangan cendikiawan Dayak menunjukkan sebuah semangat kemerdekaan menuju generasi Dayak baru yang mampu mengubah paradigma orang lain terhadap Dayak masa kini. Tentu saja hal ini menjadi pekerjaan rumah kita sebagai orang Dayak untuk membawa misi perubahan tersebut dalam setiap detik kehidupan. Ini bukan pekerjaan mudah dan gampang karena begitu banyak kerikil dan tembok pembatas yang membuat perjalanan menuju perubahan itu amat sulit. Lebih celaka lagi faktor-faktor penghambat perubahan itu terkadang muncul dari kalangan Dayak itu sendiri sehingga ada semacam perang identitas dan perang si jago kandang.
“Dayak Menggugat”, “Dayak Menuju Perubahan”, “Dayak Menuju Kemerdekaan”, layaknya sebuah slogan yang terdengar arogan, namun membuat pikiran kita terdorong untuk membuat perubahan itu menjadi nyata. Jika kita cermati secara mendalam, slogan singkat tersebut menunjukkan ada sesuatu pekerjaan besar bagi kita terutama kalangan Dayak untuk memperbaiki carut marut kehidupan dan keterbelakangan orang Dayak selama ini. Slogan yang kedua, tentu saja bukanlah keinginan untuk merdeka dalam arti memisahkan diri dari NKRI, melainkan merdeka sebagai manusia Dayak yang sejati. Muncul dengan identitas sebenarnya, tidak ambigu dan memiliki nilai-nilai sejati manusia Dayak. Dengan demikian kita akan melihat sebuah kehidupan baru yang lebih kompetitif, lebih terbuka terhadap kesempatan dan perkembangan yang terjadi, lebih terbuka dengan hal-hal baru sehingga pandangan miring yang dialamatkan kepada orang Dayak dapat dierosikan seiring berjalannya waktu.

Bicara eksitensi Dayak adalah membicarakan seni dan filosofi hidup, adalah bicara mengenai keberadaan orang dayak dan nilai-nilai hidupnya. Eksistensi budaya Dayak tak berbeda dengan budaya lain yang hidup di Kalimantan, ia adalah hakiki. Yang membedakan bisa saja bahasa, sejarah, letak geografis dan kebanggaan sebagai pribumi yang masih terus diperdebatkan. Selanjutnya adalah persamaan nasib, kesamaan mengalami kesulitan hidup ditengah krisis multidimensional negara ini.
Kemajuan dan perbaikan situasi yang diraih saat ini hendaknya membuat sebuah kesadaran bersama bagi intelektual masyarakat Dayak. Posisi puncak dan strategis dalam dunia politik sebaiknya tidak dianggap muara dari perjuangan identitas yang dilakukan, ia justeru merupakan awal kesadaran baru bahwa untuk bisa berdiri dengan tegak, diperlukan usaha kolektif antar seluruh elemen masyarakat Dayak itu sendiri.
Problema klasik para elite Dayak sering menjadi sandungan. Elite Dayak kerap berseteru yang langsung berdampak pada kelompok pendukungnya. Latar belakang suku, bahasa, letak geografis memperuncing potensi gesekan ditingkat dasar masyarakat Dayak. Strategi kolonial ini masih menjadi “hantu”, bahwa orang Dayak gampang terpecah oleh kepentingan-kepentingan politis dan pertarungan yang sebenarnya justru menghabiskan banyak energi.
Modernisasi dan isu perubahan bergerak seperti kilat merombak budaya tradisional, melahap nilai-nilai lokal, demikian pula terhadap orang Dayak dan kebudayaannya. Selama ini, orang Dayak sangat adaptif terhadap berbagai fenomena baru yang masuk kedalam ranah tradisi mereka. Apakah itu dari masyarakat sekitar, juga dari belahan dunia lain yang mempengaruhinya. Seluruh aspek kehidupan masyarakat Dayak telah mengalami penyesuaian dengan zaman ini. Kombinasi itu memperumit untuk melakukan komodifikasi tanpa mengabaikan kemurnian perjuangan identitas budaya Dayak.
Kebudayaan Dayak di Indonesia memang kurang terekspos seperti kebudayaan Dayak di negeri jiran. Oleh Malaysia, Kebudayaan Dayak diangkat sebagai salah satu icon kebudayaan mereka untuk menarik para wisatawan manca negara. Lihatlah dalam iklan-iklan pariwisata Malaysia, mereka selalu menampilkan kekayaan budaya Dayak. Di Indonesia, penghuni asli pulau Borneo ini seolah hanya dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai pelengkap saja. Keberadaan dan kemampuan orang Dayak jarang diakui layaknya suku bangsa lain. Kebudayaan Dayak yang merupakan kekayaan Nusantara jarang diekspos oleh pemerintah sehingga pelestarian kebudayaan berjalan secara alami dan parsial oleh anak-anak Dayak itu sendiri.
Saat ini, ratusan bahkan ribuan anak-anak Dayak menjalani pendidikan yang sama dan setara dengan masyarakat Indonesia umumnya. Kondisi ini memungkinkan adanya kesetaraan dan kesempatan yang sama pula untuk berbuat “sesuatu”. Dengan semakin baik kuantitas dan kualitas intelektualnya, diharapkan terjadi perubahan yang baik dalam visi Dayak dimasa depan. Kesempatan luas dalam pendidikan adalah jendela baru, ia harus dimanfaatkan sebagai “mandau” yang baru dalam mempertajam pengetahuan dan analisa, untuk hidup dalam tradisionalisme sekaligus mengadaptasi modernisasi budaya dengan bijak. Kesempatan yang ada selayaknyalah menjadi sebuah kesempatan baru untuk memerdekakan diri dari keterbelakangan dan kemarjinalan yang selama ini membelenggu. Perjuangan dibidang pendidikan, kebudayaan, social ekonomi dan politik menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar yang harus kita jalankan.
Sebagai kaum terpelajar dan intelektual Dayak, situasi ini menggairahkan semangat untuk maju, mendorong, untuk meneliti dan mengembangkan pengetahuan budaya Dayak agar terus berkibar dimasa kini. Agar mampu bertahan dan kontekstual ditransformasikan, yang usang dan tak sesuai zaman ditinggalkan namun tetap terdata agar tetap dikenal sebagai sejarah masa lalu. Masyarakat tradisi Dayak di kampung-kampung perlu diberikan pelajaran untuk mengelola, menciptakan keuntungan-keuntungan yang wajar dari maraknya pariwisata dan kemajuan posisi tawar tradisi dan budaya Dayak saat ini. Sehingga selain menjual dan meraih keuntungan finansial dari situasi ini, diberdayakan pula penghormatan terhadap budaya, kesenian yang alami dan adat istiadat serta hukum adat yang dipelihara dan diperlakukan sesuai aturan dan konteks zamannya.
Meminjam sebuah slogan : “Ketika kami terusir dari pantai, kami masuk kekampung. Ketika dikampung kami kembali terusir, kami masuk kehutan. Ketika didalam hutan kami masih diusir, kami masuk lebih dalam ke rimba. Jika didalam rimba kami tetap terusir, sampailah kami di pinggir jurang, jika disinipun kami masih diusir, maka kami akan melawan”. Slogan ini semestinya kita pahami lebih jauh karena masyarakat Dayak amat takut untuk melawan kesewenangan yang terjadi terhadap dirinya. Selayaknyalah orang-orang Dayak berani tampil melawan kesewenangan dan berjuang memerdekakan dirinya demi kebudayaan, identitas dan kemajuan orang Dayak itu sendiri.
Melawan bukan karena kebencian dan kemarahan, seluruh usaha itu sebaiknya dilakukan, diperjuangkan karena kecintaan terhadap budaya yang melahirkan tradisi Dayak yang pernah sangat mencengangkan dunia oleh eksotisme dan keunikkannya. Pekerjaan besar dengan penafsiran baru untuk menyelamatkan budaya Dayak dari kemusnahan. Mereka yang harus memulai semuanya dengan sadar dan cerdas. Bekerja dengan didasari mentalitas dan semangat rumah panjang yang sebenarnya. Kita yakin bisa! Tak ada yang tak mungkin, kondisi ekonomis yang semakin baik oleh gerakan Kopdit, perkebunan yang dikelola dengan sehat, usaha swadaya masyarakat, semakin kokohnya SDM dan kebijakan yang berpihak memungkinkan kerja ini.
Kebanggaan yang dirasakan akhir-akhir ini selayaknya menjadi awal yang positif bagi perkembangan masyarakat dan budaya Dayak dikemudian hari. Kebanggaan yang memicu optimisme bahwa budaya Dayak bisa dihargai dan setara dengan kebudayaan lain di Indonesia, sehingga tidak mudah lahir kecurigaan-kecurigaan, prasangka, fanatisme sempit yang mengancam dan melahirkan konflik-konflik horisontal yang selama ini identik dengan Kalimantan Barat dan orang Dayak.
Sejak awal ditemukan dan diungkap oleh para Borneian, Dayak selalu mencengangkan dan mempesona, semoga situasi ini akan tetap demikian didalam hati generasi muda Dayak. Kecintaan dan kebanggaan sebagai generasi yang lahir dari sebuah kebudayaan besar. Sebagai bagian dari keragaman dan pluralisme budaya di Indonesia.

Tains Odop, Penulis, Arsitek dan Pemikir generasi muda Dayak.

Senin, 14 Desember 2009

MANUSIA DAYAK’ MENCARI KEDALAMAN HIDUP LEWAT THERAPI ‘EROSI’ KEHIDUPAN MODERN


BAB IV

Stepanus Djuweng, pada tahun 1996 dalam ‘Manusia Dayak: Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi” menuliskan bahwa:

  1. Apa yang terjadi dalam Kitab Bilangan 33,5-54 tentang bangsa Israel yang dipimpin Musa memasuki Tanah Kanaan berperang dengan penduduk asli untuk dapat menduduki Tanah Kanaan. Hal ini bagi tanah pribumi Kalimantan yang dirampas hak-hak atas tanah dengan dalih pembangunan dan proyek-proyeknya. Dan sangat disayangkan bahwa bangsa kulit putih yang merasa dirinya sebagai bangsa yang ‘beradap’ tarhadap kaum pribumi yang primitif pun justru menjadi penjajah yang ‘biadap’. Sangat disayangkan teknik dan pengalaman kaum penjajah itupun diadopsi dan dipraktekkan banyak pemerintah Negara-negara merdeka terhadap rakyat yang disebut primitif oleh mereka. Borneo dengan masyarakat Dayaknya yang primitif telah menjadi jarahan kaum kapitalis modern, dan orang Dayak telah nyaris menjadi ‘orang asing di tanahnya sendiri.’

  2. Pejabat pemerintah yang berasal dari luar Borneo umumnya tidak gampang memahami karakteristik sosial-budaya masyarakat Dayak, akhirnya sejarah pendekatan pembangunan dan proyek-proyeknya kurang mengena. Hal itu berdampak pada UU PA no. 5 /1960 yang dinilai diskriminatif terhadap “masyarakat peladang’ di Borneo. Oelh UU PA tersebut, para peladang berpndah yang memiliki sistem siklus ± 10 – 15 tahun terhadap tanah garapannya dianggap penggarap pasif dan menelantarkan tanah garapan. Pada pasal 19 juncto PP no 10 / 1960 juncto Permen Pertanian dan Agraria No 62 / 1982, mewajibkan para pengusaha untuk mendaftarkan tanh-tanah kepada pemerintah untuk sertifikasi tanah yang dikeluarkan pemerintah. Tanah yang tidak disertifikasi dinyatakan sebagai tanah Negara. Berarti semua masyarakat Dayak di pedalaman tidak punya hak milik tanah, karena tidak memiliki sertifikat. Mereka mengatur lewat hukum adat, yang belum ditulis, dibukukan. Apalagi disyahkan oleh Negara. Padahal penguasaan tanah berdasarkan adat istiadat sudah mapan dari zaman nenek moyang dulu kala. Akhirnya yang terjadi konflik-konflik kepentingan. Pemerintah bersekutu dengan pengusaha (kapitalis) melawan masyarakat warga yang katanya primitif dan harus diperdayakan. Kenyataannya ketika masyarakat warga ikut PIRTRANS atau KKPA di perkebunan, “Community Development-nya” tidak digarap semestinya oleh perusahaan yang bersangkutan. Pembangunan transmigrasi dan perkebunan tidak mmperbaiki kehidupan sosial ekonomi dan budaya orang-orang Dayak.

  3. Masyarakat warga yang para ‘peladang berpindah itu’ dikambinghitamkan sebagai perusak hutan Kalimantan. Kearifan lokal msyarakat Dayak yang tradisional untuk mempertahankan keharmonisan manusia dengan alam (tersebut tanah, air, udara, api), yang menjadi ‘anasir utama’ dalam inti falsafah hidup orang daya’, yang telah dipelihara berabad-abad, telah dikucilkan. Tatkala HPH dan perkebunan mulai bercokol di Borneo, asap kebakaran hutan sampai diekspor ke Singapura dan Malaysia, sampai-sampai mengganggu penerbangan dan mengakibatkan musibah penerbangan. Dan yang disalahkan adalah masyarakat peladang. Pada hal sebelumnya tak pernah terjadi, baru terjadi setelah adanya HPH dan perkebunan.

  4. Dampak lain yang ditimbulkan oleh HPH yaitu pencemaran sungai dan tersumbatnya anak-anak sungai; kalau hujan cungai cepat kotor dan banjir, kalau kemarau cepat surut. Pengaruh buruk terhadap kehidupan sosial dan moral, yaitu terjadinya kawin kontrak; ada pantun kilat berbunyi: “Jalan PT jalannya licin, tempat logging menarik kayu, orang PT barmain cinta, orang hulu yang menanggung malu”, karena ada gadis-gadis menggendong anak-anak ditinggal lari bapak.

Di copy dari artikel Rm Harry oleh tains odop.


Kamis, 10 Desember 2009

DAD LEMBAGA BERKEDOK ADAT


Dulu seorang Damong Adat begitu sangat dihormati dan dihargai sebagai penjaga identitas di wilayah kedaulatan adatnya. Petuah-petuah yang disampaikannya pun begitu sangat ditaati oleh warga komunitasnya. Menjadi seorang Damong bukanlah sebuah jabatan atau pengakuan semata tanpa pertimbangan yang khusus. Damong Adat harus memiliki kriteria yang dianggap mampu membawa keberlangsungan dan menjaga keberlangsungan adat dan tradisi dalam komunitasnya. Oleh karena itu, syarat untuk seseorang yang bisa menjadi Damong haruslah orang yang Becangkam Landas Beliur Bisaq (memiliki karisma), rela berkorban dan tidak menuntut imbalan atas jasanya atau dengan kata lain digaji.

Dalam hal perkara adat misalnya, sosok Damong Adat ini sangat dibutuhkan dalam menjaga nilai-nilai demokratisasi. Karena yang berhak mengadakan sidang hukum adat atau perkara adat adalah pengurus adat atau Damong Adat yang diangkat komunitasnya. Damong adat tersebut tahu semua hal tentang hukum adat karena memang itulah syarat mutlak yang dimiliki seorang Damong Adat. Bahkan kalau sampai Damong Adat tidak ada atau tidak bisa datang, perkara adat tersebut tidak dapat dilaksanakan atau ditunda untuk mengambil sebuah keputusan. Begitu pula dalam setiap proses pelaksanaan upacara adat, peran Damong Adat begitu besar. Sehingga dengan sangat besarnya peran yang dimiliki ini, warga kampung pun sangat tanggap dan selalu berpartisipasi, baik itu berupa tenaga, dukungan materi (bahan-bahan ritual adat), waktu, maupun pikiran.

Namun sangat ironis pada kondisi saat ini, hampir sebagian besar di komunitas orang Dayak, seorang Damong Adat kini hampir-hampir tidak ada perannya lagi. Gaungnya kalah jauh dibandingkan dengan peran dan kepopuleran lembaga-lembaga adat yang pembentukan dan pemilihannya tidak lagi mengutamakan prinsip-prinsip yang seyogyanya berlaku dalam pembentukan dan pemilihan seorang Damong Adat pada setiap komunitas Dayak.

Sebut saja lembaga-lembaga adat seperti Majelis Adat Dayak (MAD), Dewan Adat Dayak (DAD), dan seorang Kepala Desa ataupun Kepala Dusun yang sudah merasuki ke seluruh elemen kehidupan sosial kemasyarakatan. Dampaknya, saat ini mekanisme pemilihan Damong Adat sudah ada yang tidak lagi secara langsung dipilih oleh warga komunitasnya. Justru, ada Damong Adat yang secara langsung dipilih dan ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan warga kampung sesuai mekanisme pemilihannya. Kemudian aspek yang berkaitan dengan kebijakan penggabungan beberapa kampung menjadi satu Desa juga, sangat membatasi gerak dan peran Damong Adat. Setelah wilayah kekuasaan dipersempit, dimunculkanlah beberapa organisasi “tandingan” oleh Pemerintah Daerah tanpa melibatkan masyarakat komunitas, seperti DAD Desa, DAD Kecamatan, DAD Kabupaten. Tidak mengherankan sehingga kemudian terjadilah tumpang tindih kekuasaan, kebingungan, dan saling menunggu dalam menerapkan hukum adat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap otoritas dan eksistensi Damong Adat.

Di komunitas Dayak Simpakng fakta ini sudah terjadi. Ketika benua Simpakng dipecah menjadi dua wilayah administratif, yakni Kecamatan Simpang Hulu di Kecamatan Simpang Dua. Otoritas Damong semakin terlupakan, bahkan dalam proses pemilihan kepala adat (Patinggi) pun mulai menjauh dari mekanisme pemilihan yang sebenarnya. Pemilihannya sarat dengan manupulasi, intervensi dan tak ubahnya seperti pemilihan politik untuk menentukan wakil rakyat baik ditingkat legislatif maupun eksekutif. Otoritas Damong Adat semakin terlupakan seiring dengan pengaruh-pengaruh ekseternal seperti kemajuan informasi dan komunikasi yang tidak berimbang, pendidikan yang terpaku pada kurikulum nasional, dan agama yang memporakporandakan tatanan nilai-nilai budaya lokal menjadi faktor penentu dalam keberlangsungan identitas asli masyarakat Simpakng. Kondisi ini juga terjadi di daerah dimana komunitas Dayak secara turun temurun hidup dengan tradisi leluhurnya yang saat ini berada dalam situasi kegamangan.

Selain itu juga, seringkali ditemukan kata-kata sakti yang selalu dipakai atau dijadikan senjata oleh pihak pemerintah dan Investor untuk menakut-nakuti dan mengalahkan peran Damong Adat yakni bahwa Hukum adat tidak diakui dalam negara Indonesia dan tidak diakui dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Adat selalu dibenturkan dengan Hukum Negara. Hukum adat disebut hukum negatif bukan hukum positif. Sehingga, Damong Adat terutama yang belum mendapat pengetahuan secara memadai tentang hukum negara, sering takut atau ragu-ragu menerapkan hukum adat kepada pihak luar yang merampas hak-hak mereka.

Dampaknya pun sangat terasa dalam kehidupan masyarakat adat Dayak dimana pun saat ini. Otoritas Damong Adat semakin terpinggirkan, tidak ditaati sehingga kepercayaan terhadap Damong Adat semakin terkikis dan menjauhi segala aturan-aturan adat yang berlaku. Tidak heran jika ada kasus-kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan ditingkat Damong Adat harus menunggu DAD terlebuh dahulu atau dibawa kekepolisian atau ke pengadilan. Begitu pula dalam setiap proses upacara adat, banyak warga kampung yang tidak lagi mengikuti sampai habis. Datang sebentar lalu pulang. Padahal dalam upacara-upacara adat tersebut akan ditetapkan tentang pantang pantiq atau aturan adat mana yang harus ditaati. Dan yang sangat memprihatinkan lagi, jika ada upacara adat dan perkara adat justru yang ditunggu-tunggu dan dinanti-nanti kedatangannya adalah seorang Kepala Desa, kepala dusun dan DAD. Damong Adat yang sesungguhnya pun semakin dilupakan karena posisi mereka dijadikan bagian dari struktural keberadaan lembaga-lembaga tersebut, padahal keberadaan damong-damong adat ini independen, sehingga segala keputusan dan keberlangsungan adat istiadat didalam lingkup komunitasnya menjadi tanggung jawab dan wewenangnya sendiri bukan harus tergantung pada keberadaan lembaga-lembaga adat itu.

Fenomena inilah yang kemudian menjadi dilema kebanyakan para Damong Adat. Derasnya arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, semakin membiaskan keberadaan para Damong Adat. Ditambah lagi dengan keberadaan lembaga-lembaga adat yang begitu diagung-agungkan justru semakin mengebiri identitas orang Dayak itu sendiri. Di beberapa daerah ada pengurus DAD yang memanfaatkan posisinya bekerjasama dengan para investor untuk menyosialisasikan perusahaan perkebunan dan pertambangan dan meminta agar warga masyarakat Dayak mau menerima agenda bisnis berkedok kesejahteraan ini dan menyerahkan tanahnya dengan nilai yang sangat murah. Ada indikasi, oknum dari pengurus DAD itu disogok oleh pihak investor agar keinginan bisa terwujud. Hal seperti itu bisa saja terjadi, karena lembaga-lembaga adat tersebut sangat strategis dan dianggap representatif dalam menggoyah keteguhan hati orang Dayak dalam mempertahankan kedaulatan wilayah adatnya yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka.

Di Indonesia, sesungguhnya keberadaan hukum adat diakui. Dalam penjelasan UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 B ayat 2, pasal 28I ayat 3 UUD 1945, UUD RIS 1949 pasal 146, Tap MPR No IX/2001 pasal 4 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA huruf j, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 6, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 2 ayat 9, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 3, UU No 41/1999 tentang Kehutanan pasal 4 ayat 3, UU No. 7/2004 tentang sumber Daya Air pasal 6 ayat 3, UU No 18/2004 tentang perkebunan pasal 9 ayat 2, UU No. 14 tahun 1974 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 23 ayat 1 dan pasal 27 ayat 1, UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 pasal 3 dan 5, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1. Berdasarkan peraturan tersebut, memberi pemahaman bahwa sebenarnya secara yuridis atau hukum, hukum adat itu diakui oleh Negara. Tinggal kini mau atau tidaknya pihak pemerintah dan investor untuk menerapkan pengakuan secara de facto terhadap hukum adat dan Damong Adat sendiri tidak lagi merasa takut dan tergantung pada pihak luar dalam melaksanakan aturan adat. Ada saling keterkaitan antara Hukum adat dan Damong Adat. Kalau Damong Adat dibatasi perannya, maka hukum adat juga akan dibatasi. Dan, kalau Hukum Adat tidak diakui maka Damong Adat tidak akan memiliki peran lagi.

Keberadaan lembaga adat dikalangan masyarakat Dayak memang begitu penting karena mengatur hajat hidup masyarakatnya, namun akhir-akhir ini pergeseran nilai dan manfaat yang terjadi telah menafikan sisi positif dari lembaga adat tersebut. Faktor-faktor seperti tidak becusnya para pemangku adat, ditungganginya DAD oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak diakuinya lembaga adat lokal telah membuat gaung hukum adat semakin kecil. Risih rasanya melihat para tokoh adat Dayak yang hanya memperjuangkan isi dompetnya sendiri dan berkonspirasi terhadap kasus-kasus yang merugikan masyarakat Dayak. Dewan Adat Dayak yang memiliki kekuatan cukup besar dalam kehidupan sosial masyarakat Dayak ternyata hanyalah tameng bagi pemerintah dan pemilik modal, mereka tidak lagi murni memperjuangkan hak-hak masyarakat Dayak dan menjadi pengayom hukum daerah melainkan telah bergeser fungsi dan manfaat.

*Foto By Goyomp - Pantong
* Akan Segera Terbit: Buku: DAYAK MENGGUGAT
Penulis: Nistains Odop & Frans Lakon Banamang