Senin, 09 Agustus 2010

Siapah Dayak itu?


Catatan seorang Imam Katolik di Kabupaten Ketapang

Menurut hemat saya tak ada batasan yang bersifat objektif tentang Dayak. Salah satu jalan untuk menentukan apakah seseorang ‘benar-benar Dayak‘ adalah dengan mencari tahu apakah seseorang itu meng-‘identifikasikan diri sendiri‘ sebagai Dayak atau di identifikasikan sebagai Dayak oleh orang lain. Misalnya “Pastor Harimurti lebih Dayak dari pada saya yang notabene orang Dayak”, itu pernyataan Pastor Akomen, seorang pastor dari Etnis Dayak Gerunggang.
Mgr. Mikhail Coomans (Manusia Dayak 1987) dan Juweng (1996) menjelaskan bahwa, pada mulanya Dayak adalah sebuah istilah yang bernada negatif, yang ditujukan bagi orang yang tinggal di pedalaman Kalimantan.
Sekarang orang-orang Dayak sendiri memakai istilah ini untuk ‘mengidentifikasikan diri’ mereka sendiri. Bahkan sekarang ini sudah menjadi kebiasaan orang-orang Dayak menggunakan sebutan ’DAYAK’ untuk mencapai kepentingan kolektif dalam adat budaya, sosial politik dan ekonomi. Dulu tahun 50-an sudah muncul ‘Serikat Kaharingan Dayak Indonesia’ sebagai reaksi atas kekuasaan politik pemerintah yang didominasi orang-orang Muslim/Melayu, di pimpin mantan Gubernur Kalimantan Barat OEVAANG OERAY dan PALAUN SUKA.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ’solidaritas kultur Dayak’ sangat diperlukan oleh orang-orang Dayak untuk mencapai kesejahteraan dalam arus pembangunan ini. Lebih jauh lagi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat Dayak harus menerima identitas Dayak dalam kehidupan bersama dan menghindari konflik-konflik internal sub suku Dayak atau antar suku Dayak, karena konflik-konflik tersebut akan memecah-belah masyarakat Dayak sendiri. Dengan demikian suku Dayak yang terdiri dari banyak sub-suku itu akan menjadi satu kesatuan bulat yaitu ‘Dayak Indonesia’ dan mungkin 'Dayak Malaysia'.
Maka dari itu, orang-orang Dayak perlu mendirikan lembaga-lembaga atau organisasi untuk menyatukan komunitas mereka. DAD (Dewan Adat Dayak) yang ada sekarang ini belum menjadi wadah pemersatu seperti yang saya maksudkan, tetapi cenderung terkontaminasi sebagai alat atau kendaraan partai politik dan politik bisnis semata. Maka perlu diciptakan hubungan-hubungan regional dengan kelompok lain di tingkat kabupaten, provinsi, nasional dan internasional. Hal ini karena ada orang Dayak di Malaysia dan di tempat lain di dunia. Hal ini sudah diprakarsai oleh Musyawarah Adat Dayak Nasional dan Propinsi.
Saya sangat tertarik dengan model kehidupan masyarakat di rumah betang atau rumah panjang. Alangkah baiknya masyarakat Dayak menjaga dan mengembangkan ‘semangat rumah betang’ yang sudah sekian lama menjadi simbol solidaritas
kultural dan menjadi basis kehidupan masyarakat Dayak. Di rumah Betanglah saya menyaksikan bagaimana masyarakat Dayak dapat mengembangkan seni budaya dan seni arsitektur khas Dayak, yang merupakan simbol kunci Kalimantan.
Saya pernah merasakan hidup bersama umat di rumah betang di daerah Gerai dan pernah berkunjung ke Mengkakah Balai Berkuak. Posisi para perempuan sejajar dengan kaum lelaki. Fungsi Kepala Adat Dayak sungguh-sungguh sebagai ’Pengatur dan Pelaksana Adat’ yang perlu di lembagakan kembali secara rapi, teratur, dan disiplin. Orang Dayak harus mendirikan sebuah lembaga pengkajian kebudayaan Dayak dan mengadakan diskusi-diskusi, dialog-dialog, seminar, refleksi ilmiah, khususnya bagi generasi muda, sehingga masyarakat Dayak semakin diperkaya dalam memahami kebudayaan mereka sendiri.
Karena saya melihat bahwa sudah ada kecenderungan kuat dari orang muda untuk: mengetongahan babi hutan, menyisihan babi laman, yang artinya orang muda tidak tertarik lagi dengan kebudayaan sendiri, cenderung memungut budaya lain yang belum tahu juntrungnya. Lemahnya, orang-orang tua kita juga cenderung tidak menjadi pewaris dan penerus budaya yaitu menjadi kacang beketunjaran, keribang bekebolitan.

Sekarang ini saya bangga, karena banyak umat saya –terutama orang-orang muda– telah menjadi sarjana dari berbagai universitas dengan berbagai bidang studi. Beberapa dari mereka itu melanjutkan studinya ke luar negeri dan merepresentasikan kebudayaan Dayak lewat tulisan serta media lainnya.
Seharusnya budaya Dayak semakin maju tanpa harus kehilangan identitasnya. Tetapi menentukan siapa yang ’benar orang Dayak’, tampaknya sebagian besar ditentukan oleh pandangan orang dalam dan orang luar tentang siapa dan apa yang dianggap Dayak. Konsep tentang identitas bersama Dayak memang sudah menjadi lebih luas dan kuat, karena didobraknya identifikasi lama mengenai basis-basis keanggotaan suku Dayak tertentu, misalnya Pesaguan, Kendawangan, Simpang, Bahau, Ngaju, Iban, Kayan, Ahe dan lain-lain.
Identitas kolektif Dayak semakin menunjukkan bahwa masyarakat Dayak terus mendapat porsi yang lebih luas dalam tatanan nasional. Dan nampaknya sifat kenaikan yang menandai kebudayaan Dayak dalam antropologi budaya mulai menghilang atau surut bersama lajunya modernisasi.

Di angkat dari naskah buku Rm. Harimurti.
Seorang Romo yang bertugas di lingkungan masyarakat Dayak dan memperoleh banyak gelar kehormatan dari pemuka-pemuka adat Dayak, khususnya di daerah Pesaguan dan Tumbang Titi.