Selasa, 15 Desember 2009

MENGAPA DAYAK TIDAK MERDEKA




Mengapa banyak sekali manusia yang mengatakan bahwa merdeka itu tidak perlu. Dan, seperti itulah dunia kita, mereka tidak pernah mengharapkan kemerdekaan yang sejati dalam hidup. Sebelum buku ini dirilis, kami telah berpikir beberapa kali untuk mencari tema yang paling cocok, pernah muncul judul seperti DAYAK BERUBAH, atau DAYAK NASIBMU, atau DAYAK MASA DEPAN, Dayak in the Crossroad, DAYAK MASA KINI… dan beberapa judul lain.
Mengutarakan tema mengenai sejarah, kebudayaan, latar belakang hidup, tantangan, harapan dan perjuangan orang Dayak membuat pikiran kita bergerak untuk segera melakukan revolusi kearah perubahan yang lebih baik. Setidaknya mind set kita diarahkan kepada sesuatu yang membangun manusia Dayak dari berbagai sisi kehidupan. Tentulah aroma keterbelakangan dan penindasan menjadi alasan dan dasar bagaimana perlawanan menuju perubahan jati diri orang Dayak itu menguak kepermukaan dan melatarbelakangi pemikiran dan perjuangan kita.
Santernya semangat perjuangan dan deru perubahan yang dikumandangkan oleh para tokoh, pemikir dan cendikiawan Dayak dari berbagai sudut kehidupan mengajak setiap kalangan untuk membuka maju dan bergerak kedalam satu visi perjuangan yang sama bernama perubahan. Marjinalisasi yang terjadi, keterbelakangan dan pembunuhan karakter serta penutupan beberapa kesempatan dibidang politik dan pemerintahan seolah menjadi duri yang membuat manusia Dayak berjuang bersama menuju sebuah identitas baru yang diharapkan lebih diperhitungkan dan dipandang sebagai orang yang berkualitas dan setara dengan suku bangsa lain.
Fakta semangat perubahan dikalangan cendikiawan Dayak menunjukkan sebuah semangat kemerdekaan menuju generasi Dayak baru yang mampu mengubah paradigma orang lain terhadap Dayak masa kini. Tentu saja hal ini menjadi pekerjaan rumah kita sebagai orang Dayak untuk membawa misi perubahan tersebut dalam setiap detik kehidupan. Ini bukan pekerjaan mudah dan gampang karena begitu banyak kerikil dan tembok pembatas yang membuat perjalanan menuju perubahan itu amat sulit. Lebih celaka lagi faktor-faktor penghambat perubahan itu terkadang muncul dari kalangan Dayak itu sendiri sehingga ada semacam perang identitas dan perang si jago kandang.
“Dayak Menggugat”, “Dayak Menuju Perubahan”, “Dayak Menuju Kemerdekaan”, layaknya sebuah slogan yang terdengar arogan, namun membuat pikiran kita terdorong untuk membuat perubahan itu menjadi nyata. Jika kita cermati secara mendalam, slogan singkat tersebut menunjukkan ada sesuatu pekerjaan besar bagi kita terutama kalangan Dayak untuk memperbaiki carut marut kehidupan dan keterbelakangan orang Dayak selama ini. Slogan yang kedua, tentu saja bukanlah keinginan untuk merdeka dalam arti memisahkan diri dari NKRI, melainkan merdeka sebagai manusia Dayak yang sejati. Muncul dengan identitas sebenarnya, tidak ambigu dan memiliki nilai-nilai sejati manusia Dayak. Dengan demikian kita akan melihat sebuah kehidupan baru yang lebih kompetitif, lebih terbuka terhadap kesempatan dan perkembangan yang terjadi, lebih terbuka dengan hal-hal baru sehingga pandangan miring yang dialamatkan kepada orang Dayak dapat dierosikan seiring berjalannya waktu.

Bicara eksitensi Dayak adalah membicarakan seni dan filosofi hidup, adalah bicara mengenai keberadaan orang dayak dan nilai-nilai hidupnya. Eksistensi budaya Dayak tak berbeda dengan budaya lain yang hidup di Kalimantan, ia adalah hakiki. Yang membedakan bisa saja bahasa, sejarah, letak geografis dan kebanggaan sebagai pribumi yang masih terus diperdebatkan. Selanjutnya adalah persamaan nasib, kesamaan mengalami kesulitan hidup ditengah krisis multidimensional negara ini.
Kemajuan dan perbaikan situasi yang diraih saat ini hendaknya membuat sebuah kesadaran bersama bagi intelektual masyarakat Dayak. Posisi puncak dan strategis dalam dunia politik sebaiknya tidak dianggap muara dari perjuangan identitas yang dilakukan, ia justeru merupakan awal kesadaran baru bahwa untuk bisa berdiri dengan tegak, diperlukan usaha kolektif antar seluruh elemen masyarakat Dayak itu sendiri.
Problema klasik para elite Dayak sering menjadi sandungan. Elite Dayak kerap berseteru yang langsung berdampak pada kelompok pendukungnya. Latar belakang suku, bahasa, letak geografis memperuncing potensi gesekan ditingkat dasar masyarakat Dayak. Strategi kolonial ini masih menjadi “hantu”, bahwa orang Dayak gampang terpecah oleh kepentingan-kepentingan politis dan pertarungan yang sebenarnya justru menghabiskan banyak energi.
Modernisasi dan isu perubahan bergerak seperti kilat merombak budaya tradisional, melahap nilai-nilai lokal, demikian pula terhadap orang Dayak dan kebudayaannya. Selama ini, orang Dayak sangat adaptif terhadap berbagai fenomena baru yang masuk kedalam ranah tradisi mereka. Apakah itu dari masyarakat sekitar, juga dari belahan dunia lain yang mempengaruhinya. Seluruh aspek kehidupan masyarakat Dayak telah mengalami penyesuaian dengan zaman ini. Kombinasi itu memperumit untuk melakukan komodifikasi tanpa mengabaikan kemurnian perjuangan identitas budaya Dayak.
Kebudayaan Dayak di Indonesia memang kurang terekspos seperti kebudayaan Dayak di negeri jiran. Oleh Malaysia, Kebudayaan Dayak diangkat sebagai salah satu icon kebudayaan mereka untuk menarik para wisatawan manca negara. Lihatlah dalam iklan-iklan pariwisata Malaysia, mereka selalu menampilkan kekayaan budaya Dayak. Di Indonesia, penghuni asli pulau Borneo ini seolah hanya dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai pelengkap saja. Keberadaan dan kemampuan orang Dayak jarang diakui layaknya suku bangsa lain. Kebudayaan Dayak yang merupakan kekayaan Nusantara jarang diekspos oleh pemerintah sehingga pelestarian kebudayaan berjalan secara alami dan parsial oleh anak-anak Dayak itu sendiri.
Saat ini, ratusan bahkan ribuan anak-anak Dayak menjalani pendidikan yang sama dan setara dengan masyarakat Indonesia umumnya. Kondisi ini memungkinkan adanya kesetaraan dan kesempatan yang sama pula untuk berbuat “sesuatu”. Dengan semakin baik kuantitas dan kualitas intelektualnya, diharapkan terjadi perubahan yang baik dalam visi Dayak dimasa depan. Kesempatan luas dalam pendidikan adalah jendela baru, ia harus dimanfaatkan sebagai “mandau” yang baru dalam mempertajam pengetahuan dan analisa, untuk hidup dalam tradisionalisme sekaligus mengadaptasi modernisasi budaya dengan bijak. Kesempatan yang ada selayaknyalah menjadi sebuah kesempatan baru untuk memerdekakan diri dari keterbelakangan dan kemarjinalan yang selama ini membelenggu. Perjuangan dibidang pendidikan, kebudayaan, social ekonomi dan politik menjadi sebuah pekerjaan rumah yang besar yang harus kita jalankan.
Sebagai kaum terpelajar dan intelektual Dayak, situasi ini menggairahkan semangat untuk maju, mendorong, untuk meneliti dan mengembangkan pengetahuan budaya Dayak agar terus berkibar dimasa kini. Agar mampu bertahan dan kontekstual ditransformasikan, yang usang dan tak sesuai zaman ditinggalkan namun tetap terdata agar tetap dikenal sebagai sejarah masa lalu. Masyarakat tradisi Dayak di kampung-kampung perlu diberikan pelajaran untuk mengelola, menciptakan keuntungan-keuntungan yang wajar dari maraknya pariwisata dan kemajuan posisi tawar tradisi dan budaya Dayak saat ini. Sehingga selain menjual dan meraih keuntungan finansial dari situasi ini, diberdayakan pula penghormatan terhadap budaya, kesenian yang alami dan adat istiadat serta hukum adat yang dipelihara dan diperlakukan sesuai aturan dan konteks zamannya.
Meminjam sebuah slogan : “Ketika kami terusir dari pantai, kami masuk kekampung. Ketika dikampung kami kembali terusir, kami masuk kehutan. Ketika didalam hutan kami masih diusir, kami masuk lebih dalam ke rimba. Jika didalam rimba kami tetap terusir, sampailah kami di pinggir jurang, jika disinipun kami masih diusir, maka kami akan melawan”. Slogan ini semestinya kita pahami lebih jauh karena masyarakat Dayak amat takut untuk melawan kesewenangan yang terjadi terhadap dirinya. Selayaknyalah orang-orang Dayak berani tampil melawan kesewenangan dan berjuang memerdekakan dirinya demi kebudayaan, identitas dan kemajuan orang Dayak itu sendiri.
Melawan bukan karena kebencian dan kemarahan, seluruh usaha itu sebaiknya dilakukan, diperjuangkan karena kecintaan terhadap budaya yang melahirkan tradisi Dayak yang pernah sangat mencengangkan dunia oleh eksotisme dan keunikkannya. Pekerjaan besar dengan penafsiran baru untuk menyelamatkan budaya Dayak dari kemusnahan. Mereka yang harus memulai semuanya dengan sadar dan cerdas. Bekerja dengan didasari mentalitas dan semangat rumah panjang yang sebenarnya. Kita yakin bisa! Tak ada yang tak mungkin, kondisi ekonomis yang semakin baik oleh gerakan Kopdit, perkebunan yang dikelola dengan sehat, usaha swadaya masyarakat, semakin kokohnya SDM dan kebijakan yang berpihak memungkinkan kerja ini.
Kebanggaan yang dirasakan akhir-akhir ini selayaknya menjadi awal yang positif bagi perkembangan masyarakat dan budaya Dayak dikemudian hari. Kebanggaan yang memicu optimisme bahwa budaya Dayak bisa dihargai dan setara dengan kebudayaan lain di Indonesia, sehingga tidak mudah lahir kecurigaan-kecurigaan, prasangka, fanatisme sempit yang mengancam dan melahirkan konflik-konflik horisontal yang selama ini identik dengan Kalimantan Barat dan orang Dayak.
Sejak awal ditemukan dan diungkap oleh para Borneian, Dayak selalu mencengangkan dan mempesona, semoga situasi ini akan tetap demikian didalam hati generasi muda Dayak. Kecintaan dan kebanggaan sebagai generasi yang lahir dari sebuah kebudayaan besar. Sebagai bagian dari keragaman dan pluralisme budaya di Indonesia.

Tains Odop, Penulis, Arsitek dan Pemikir generasi muda Dayak.

1 komentar:

  1. Gan, saya ijin copas gmbar animasi dayakmu ya... bt ilustrasi postingan blog q, animasiny keren...

    BalasHapus