Stepanus Djuweng, pada tahun 1996 dalam ‘Manusia Dayak: Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi” menuliskan bahwa:
Apa yang terjadi dalam Kitab Bilangan 33,5-54 tentang bangsa Israel yang dipimpin Musa memasuki Tanah Kanaan berperang dengan penduduk asli untuk dapat menduduki Tanah Kanaan. Hal ini bagi tanah pribumi Kalimantan yang dirampas hak-hak atas tanah dengan dalih pembangunan dan proyek-proyeknya. Dan sangat disayangkan bahwa bangsa kulit putih yang merasa dirinya sebagai bangsa yang ‘beradap’ tarhadap kaum pribumi yang primitif pun justru menjadi penjajah yang ‘biadap’. Sangat disayangkan teknik dan pengalaman kaum penjajah itupun diadopsi dan dipraktekkan banyak pemerintah Negara-negara merdeka terhadap rakyat yang disebut primitif oleh mereka. Borneo dengan masyarakat Dayaknya yang primitif telah menjadi jarahan kaum kapitalis modern, dan orang Dayak telah nyaris menjadi ‘orang asing di tanahnya sendiri.’
Pejabat pemerintah yang berasal dari luar Borneo umumnya tidak gampang memahami karakteristik sosial-budaya masyarakat Dayak, akhirnya sejarah pendekatan pembangunan dan proyek-proyeknya kurang mengena. Hal itu berdampak pada UU PA no. 5 /1960 yang dinilai diskriminatif terhadap “masyarakat peladang’ di Borneo. Oelh UU PA tersebut, para peladang berpndah yang memiliki sistem siklus ± 10 – 15 tahun terhadap tanah garapannya dianggap penggarap pasif dan menelantarkan tanah garapan. Pada pasal 19 juncto PP no 10 / 1960 juncto Permen Pertanian dan Agraria No 62 / 1982, mewajibkan para pengusaha untuk mendaftarkan tanh-tanah kepada pemerintah untuk sertifikasi tanah yang dikeluarkan pemerintah. Tanah yang tidak disertifikasi dinyatakan sebagai tanah Negara. Berarti semua masyarakat Dayak di pedalaman tidak punya hak milik tanah, karena tidak memiliki sertifikat. Mereka mengatur lewat hukum adat, yang belum ditulis, dibukukan. Apalagi disyahkan oleh Negara. Padahal penguasaan tanah berdasarkan adat istiadat sudah mapan dari zaman nenek moyang dulu kala. Akhirnya yang terjadi konflik-konflik kepentingan. Pemerintah bersekutu dengan pengusaha (kapitalis) melawan masyarakat warga yang katanya primitif dan harus diperdayakan. Kenyataannya ketika masyarakat warga ikut PIRTRANS atau KKPA di perkebunan, “Community Development-nya” tidak digarap semestinya oleh perusahaan yang bersangkutan. Pembangunan transmigrasi dan perkebunan tidak mmperbaiki kehidupan sosial ekonomi dan budaya orang-orang Dayak.
Masyarakat warga yang para ‘peladang berpindah itu’ dikambinghitamkan sebagai perusak hutan Kalimantan. Kearifan lokal msyarakat Dayak yang tradisional untuk mempertahankan keharmonisan manusia dengan alam (tersebut tanah, air, udara, api), yang menjadi ‘anasir utama’ dalam inti falsafah hidup orang daya’, yang telah dipelihara berabad-abad, telah dikucilkan. Tatkala HPH dan perkebunan mulai bercokol di Borneo, asap kebakaran hutan sampai diekspor ke Singapura dan Malaysia, sampai-sampai mengganggu penerbangan dan mengakibatkan musibah penerbangan. Dan yang disalahkan adalah masyarakat peladang. Pada hal sebelumnya tak pernah terjadi, baru terjadi setelah adanya HPH dan perkebunan.
Dampak lain yang ditimbulkan oleh HPH yaitu pencemaran sungai dan tersumbatnya anak-anak sungai; kalau hujan cungai cepat kotor dan banjir, kalau kemarau cepat surut. Pengaruh buruk terhadap kehidupan sosial dan moral, yaitu terjadinya kawin kontrak; ada pantun kilat berbunyi: “Jalan PT jalannya licin, tempat logging menarik kayu, orang PT barmain cinta, orang hulu yang menanggung malu”, karena ada gadis-gadis menggendong anak-anak ditinggal lari bapak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar