Sabtu, 16 Januari 2010

REFLEKSI ANAK SUKU BANGSA DAYAK

Masih sangat lekat dalam ingatan kami betapa kerinduan nuansa masa lalu, dimasa kecil yang indah mengajak kami untuk kembali menikmati hari-hari itu. Hutan, Ladang dengan segenap isinya, kicau burung, kesegaran alam, suara jangkrik, kelempiau, tiupan angin yang segar. Terang redupnya cahaya pelita, terkadang api unggun yang menyala sangat besar. Sebuah nuansa ladang yang mengajak pikiran kami kembali kemasa kecil dahulu.
Itu cerita masa lalu, sekarang semuanya telah berbeda. Kita memang tidak akan mudah menemukan lagi seekor Babi Hutan melintas dijalan dengan santainya, kita tidak lagi bisa melihat burung hantu mengintip ketika kita tidur dimalam hari. Atau kita sudah tidak mendengar kicauan burung tekukur dan auman Kelempiau dipagi hari. Sekarang, situasi itu semuanya sudah berbeda.
Ada apakah gerangan? Ternyata dunia telah berubah, kehidupan Dayak juga telah berubah. Kami memang masih sebagai anak Dayak dan selamanya akan tetap sebagai orang Dayak, ditubuh kami mengalir darah Dayak 100%. Bapak Dayak-ibu Dayak, hidup di kampung Dayak dan mencoba peruntungan melalui jalan berliku dan menyeberang hingga ditanah orang demi sebuah perubahan hidup untuk kemajuan pribadi dan identitas Dayak.
Kami keluar dari kampung halaman sejak berumur 12 tahun, mengejar cita-cita melalui jalur pendidikan. Mendapatkan pendidikan yang layak bagi kami adalah cara terbaik yang bisa ditempuh untuk mengubah kehidupan. Orang tua kami yang tidak sempat mengenyam pendidikan yang cukup, berkomitmen untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang yang tertinggi dari pikiran dan cita-cita mereka. Karenanya semejak berumur 12 tahun kami telah meninggalkan kampung halaman, berpisah dengan orang tua dan berjuang mencari peruntungan melalui jalur pendidikan. Hingga kami berumur dewasa dan mulai mampu berkarya melalui tulisan-tulisan, kami telah meninggalkan kampung halaman begitu lama. Inilah perjuangan yang harus kami tempuh dan kami jalankan. Hidup memang terkadang begitu amat pahit, namun karena kepahitan itulah manusia ditempa dan dijadikan mutiara yang amat bernilai.



Sebuah pertanyaan muncul, apakah semua anak-anak Dayak demikian? Untuk kasus anak Dayak yang berasal dari pedalaman kami katakan ya. Mereka meninggalkan kampung halaman, menempuh pendidikan dikota dan tanah orang, tumbuh besar, hidup mandiri dan berjuang semejak masih muda. Mereka berusaha mencari dunia baru dalam pergerakan perubahan untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Mereka semejak kecil-13 tahun-telah meninggalkan kampung halaman untuk meempuh pendidikan ditanah orang.
Mungkin terbesit dalam pikiran anda, Apa kaitannya dengan Babi Hutan??? Lagi-lagi kita dibawa kebelakang mengingat memori untuk melihat model Babi Hutan. Ah sudahlah… Babi Hutan akan sulit terlihat lagi dikampung, apa lagi dikota. Mengapa begitu, apakah spesies ini telah punah? Boleh dikatakan begitu karena efek dari perkembangan kehidupan manusia, efek dari life cycle perputaran roda kehidupan. Dunia dan kehidupan yang telah berubah. Itu saja jawabannya. Ketika dunia berubah, alam juga berubah, semesta mengajak kita untuk hidup menurut iramanya.
Orang-orang yang melihat anda dari kecil sampai berumur belasan tahun mungkin akan berpikir “Anda tidak akan menjadi apa-apa”. Anak seorang petani kampung, atau anak seorang guru SD bukanlah bibit unggul yang dipandang akan berhasil luar biasa. Anak petani akan dianggap tetap berladang, menanam karet dan ahli berburu di hutan.
Kenyataan hingga saat ini telah berbeda, banyak anak petani kampung yang telah tinggal di kota, banyak diantara mereka yang berhasil dan sukses besar. Memiliki bisnis dan kaya, memiliki pekerjaan yang matang, keluarga yang mapan, ekonomi yang kuat dan kesejahteraan hidup yang terjamin. Banyak diantara anak-anak kampung, pegawai tingkat bawah, PNS golongan rendah dan anak-anak guru yang telah mengukir tingkat kehidupan yang luar biasa sukses.
Setidaknya kita akan sulit menemukan Babi Hutan melintas dijalan, apalagi jalan raya, perubahan telah mengajak kita berada dimasa yang baru dengan segenap isinya. Dahulu tidak ada istilah signal atau sinyal atau senyal atau hinyal kata orang ulu. Tidak ada sebutan untuk HP, pulsa, komputer, bahkan internet. Sekarang, bahkan dikampung yang belum ada listriknya–masyarakat terkadang menggunakan genset untuk penerangan dimalam hari, sudah mengenal HP dan bahkan sudah ada sinyal disana. Dalam pandangan kami ini adalah sebuah perubahan yang tentu saja akan berdampak pada sisi lain identitas kehidupan orang Dayak.

Rabu, 13 Januari 2010

Berita Duka

Turut Berduka Cita
Atas Meninggalnya
Bpk Suman Kurik
Bupati Kab. Melawi

Semoga beliau diterima disisiNya.


-admin Dayak Menggugat-